Sang Jaga Utara Pulau Sebira, Kepulauan Seribu

Pulau Sebira, Sang Jaga Utara di Ujung Kepulauan Seribu

Hari ini, karena saya nggak bisa pulang ke Jakarta, terus males keluar kemana-mana karena pastinya macet di tanggal 25 Desember, akhirnya saya beres-beres soft-file di hardisk lama. Supaya rapi aja gitu…dan enak kalau mau dibuka-buka. Niat awal memang beres-beres soft file. Eeh…akhirnya malah ketemu foto-foto lama. Ada si anu, ada si itu, ada si dia, dan lain sebagainya. Sebuah kenangan saat saya bertugas di Pulau Sebira, Sang Jaga Utara di Ujung Kepulauan Seribu.

So, karena menemukan kembali foto-foto lama, memori saya jadi flashback lagi. Masih segar dalam ingatan waktu saya melakukan trip-trip tersulit di awal karier saya. #tsaaah *sambil kibas-kibas mukena.

Seperti trip yang satu ini. Believe it or not, this journey was done about 11 years ago, when I was 21 years old (nah loh ketauan deh umur hehehe), and I still working in PT. LAPI ITB, Bandung. Saat itu, saya dan tim dari PT. LAPI ITB memang hendak memasang Solar Cell (Pembangkit Listrik Tenaga Surya/PLTS) untuk keperluan kelistrikan bagi warga Pulau Sebira.

Pulau Sebira, Dimana itu?

Pulau Sebira merupakan salah satu pulau terluar di gugusan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Bahkan kalau menurut kepala sukunya saat itu, pulau ini lebih dekat ke Lampung atau Bangka, daripada ke Jakarta. Oleh karenanya, Pulau ini jarang dikunjungi oleh pengunjung yang hendak berwisata.

Namun jangan salah, Pulau Sebira justru banyak lho penghuninya. Saat itu, 11 tahun yang lalu saja sudah ada 150 KK yang tinggal di Pulau Sebira. Sekarang, pulau ini sudah dihuni oleh 180 KK.

Speedboat di Dermaga Marina Ancol
Speedboat di Dermaga Marina Ancol

Pulau Sebira dapat dijangkau dengan menggunakan speedboat dari Dermaga 6 Marina Ancol. Nah, karena waktu itu sekitar bulan Desember-Januari, dimana musim angin barat sedang dahsyat melanda, maka perjalanan dari Dermaga 6 Marina Ancol sampai dermaga di Pulau Sebira memakan waktu sekitar 6 jam.

Itu adalah kali pertama saya naik speedboat dalam durasi waktu yang lama. Biasanya, paling lama hanya sekitar 1 jam saja.

Ombak di Pulau Seribu
Ombak di Kepulauan Seribu

Dihajar Angin Barat saat berlayar ke Sebira

Awalnya, kondisi cuaca bagus. Tapi begitu satu jam melaju, badai itu dimulai. Speedboat terombang-ambing dan sering salah haluan. Belum lagi nahkoda yang belum terlalu mahir mengendalikan speedboat disaat ekstrim, membuat perjalanan semakin membahana dan speedboat yang nyaris terbelah dua huhu….

Hingga sampailah pada saat dimana kami seperti berada di bawah pusaran air. Di sebelah kanan dan kiri speedboat ada air setinggi kurang lebih dua meter yang mengepung kami.

Untungnya, saat itu saya belum ngerti sama yang namanya bahaya. Jadi…santai saja. Malahan saya seneng mainan sama ombak yang ekstrim begitu. Hal ini membuat kepala suku Pulau Sebira yang saat itu menemani kami, geleng-geleng kepala.

Hehehe…kalau sekarang, saya nyerah deh. NO…NO…NO…

Berlayar ke pulau ini berarti kita menghadapi laut Jawa woi! bukan Selat Sunda. Kebayang kan seperti apa sensasi diajak roller coaster di Laut dahsyat ini?

Rumah Ketua RW di Pulau Sebira
Rumah Ketua RW Pulau Sebira

Disambut oleh Suku Bugis yang Sangat Ramah

Cuaca cerah menyambut saat kami menginjakkan kaki di dermaga Pulau Sebira. Pertama yang langsung terasa disini, suhu di daratan sangat panas kalau buat saya. Menusuk hingga kulit dan ubun-ubun kepala, sekalipun saya mengenakan kerudung.

Hal yang mendinginkan kami adalah manakala kami disambut ramah oleh warga di rumah ketua RW, yang juga adalah kepala suku di Pulau Sebira.

Di ruang tengah rumah berbentuk panggung ini, saya melihat ibu-ibu saling membantu menyiapkan makanan dan aneka jamuan. Mereka bahkan menyuguhi kami dengan Kue Barongko. Kue khas Bugis yang terbuat dari Pisang Kepok.

Rasanya sangat enak dan manis. Memberikan kami energi setelah 6 jam lebih terombang-ambing dalam ketidakpastian #eeeehh…dalam speedboat maksudnya.

Kue Barongko
Kue Barongko

Belakangan, saya baru tahu kalau Kue Barongko adalah kue yang disajikan untuk tamu kehormatan bagi suku Bugis.

Ya, setelah mendengar cerita dari kepala suku yang maaf, saya lupa namanya, saya mendapatkan informasi bahwa para penghuni pulau ini merupakan orang Bugis yang memang merantau. Kepala suku inilah yang mulai membangun Pulau Sebira di tahun 1970an. Mereka bertahan di Pulau Sebira karena di pulau ini ada sumur air tawar yang tak pernah kering airnya.

Semoga sehat selalu ya pak…

Kondisi Jalan di Pulau Sebira
Kondisi Jalan di Pulau Sebira

Keindahan Pulau dan Budaya Warganya

Luas Pulau Sebira sekitar 8,82 hektar, dan saat ini dihuni oleh sekitar 180 Kepala Keluarga (KK). Pulau ini bisa kita telusuri dari ujung ke ujungnya, dengan hanya sekitar 15 menit menggunakan sepeda.

Kita bisa bersepeda sembari menatap sunset yang sangat indah di sore hari. Tak ada polusi disini, jadi udara pun segar. Hanya sesekali, terhirup bau amis akibat ikan-ikan yang dijemur.

Sepedanya darimana? Pinjam punya penduduk tepatnya. Mereka sangat ramah kepada para pendatang. Bahkan saat rombongan saya baru datang, kami ditonton selayaknya artis ibukota yang mau konser di pulau.

Tempat menjemur ikan
Tempat menjemur ikan
Spot Strategis untuk menikmati Sunset di Pulau Sebira
Spot Strategis untuk menikmati Sunset di Pulau Sebira
Pantai Pulau Sebira
Pantai indah selangkah dari rumah singgah
Pantai Pulau Sebira
Pantai yang masih asri
Rumah Panggung di Pulau Sebira
Rumah Panggung Penduduk Pulau Sebira

Hampir semua rumah di Pulau Sebira berbentuk panggung dan berbahan kayu. Khas rumah Bugis. Seluruh penduduk saling mengenal, bahkan masih saling bersaudara.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya
Pembangkit Listrik Tenaga Surya

Saya dan Team Mengecek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Pulau Sebira

Fasilitas boleh minim di pulau ini, tapi daya beli masyarakatnya cukup tinggi. Sebelum kami memasang PLTS, beberapa warga memiliki Solar Cell pribadi yang mereka gunakan untuk penerangan di malam hari.

FYI, mereka juga punya lemari es ukuran besar dan AC, yang jelas tak bisa digunakan karena tak ada listrik. Saya terkejut saat itu karena lemari es dua pintu dan berukuran besar justru mereka gunakan sebagai lemari baju.

Saat saya datang 11 tahun lalu, listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai jam 12 malam. Jadi saat tengah malam, itu yang namanya nyamuk mulai menyerbu dengan dahsyat. Tidur pun rasanya seperti di oven saking panasnya karena nggak ada kipas angin #LebaySih

Pada jaman penjajahan Belanda, Pulau Sebira disebut Noord Wachter, atau Jaga Utara. Hal ini dikarenakan pada masa itu Pulau Sebira menandai adanya daratan, sehingga dibangunlah mercusuar. Mungkin tak banyak yang tahu kalau mercusuar ini adalah satu-satunya mercusuar di Kepulauan Seribu.

Sampai sekarang, mercusuar ini masih berfungsi dengan baik dan membantu memberikan cahaya buat kapal-kapal yang melintasi Selat Sunda.

Sang Jaga Utara
Sang Jaga Utara

Sang Jaga Utara di Ujung Kepulauan Seribu

Kecantikan panorama dan keramahan warga Pulau Sebira memang tak bisa dipandang sebelah mata. Meskipun berada di ujung utara Kepulauan Seribu, dengan fasilitas yang sangat terbatas untuk pendidikan dan kesehatan, mereka tetap bahagia tinggal di Pulau ini.

Semoga kelak saya diberikan kesempatan untuk kembali ke pulau ini, dalam keadaan listrik yang bisa menyala tanpa henti selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Aamiin….

Anak-anak Pulau Sebira
Anak-anak Pulau Sebira

Itu saja sudah cukup membuat mereka bahagia. Bagaimana dengan kita?

Baca juga petualangan seru lainnya:

Oleh Arum Silviani

Founder Antasena Projects and Lecturer Faculty of Business UMN

Arum Silviani

Lecturer, Travel Blogger and Founder of Antasena Projects

2 comments

AdBlocker Message

Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by disabling your ad blocker.

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.