1 Januari, tentang ketenangan dan kesenangan

Tentang Kesenangan, Ketenangan, dan Kopi Pertama di 1 Januari

Keadaan pagi di 1 Januari jauh berbeda dengan gegap gempita malam di 31 Desember 2022. Pagi ini, hanya terdengar burung-burung berkicauan, tanpa halilintar yang menyambar. Angin juga berhembus perlahan dan bersahabat. Cukup untuk menggoyangkan dahan pepohonan di hutan kecil yang terletak sepelemparan batu dari jendela kamar saya. Cuaca yang biasanya hujan di pagi hari, kini cerah. Hingga sore menjelang.

Kopi Pertama di 1 Januari

Kali ini saya tidak liburan, atau berada di kota lain selain tempat tinggal saya. Entahlah, di liburan tahun baru ini saya tak berminat traveling keluar pulau, atau keluar kota. Mungkin karena cuaca yang kurang bersahabat akhir-akhir ini. Sehingga saya terlalu malas untuk sekedar berjalan ke luar rumah.

Disamping itu, saya juga masih mengerjakan beberapa hutang pekerjaan yang “membosankan” dan menyita waktu panjang.

Apalagi kalau bukan mengoreksi ujian?

Bagi seorang dosen seperti saya, tugas terberat bukanlah membuat rencana perkuliahan. Bukan pula melakukan penelitian, atau membuat materi kuliah. Melainkan mengoreksi ujian.

Di satu sisi kita harus hati-hati, namun di sisi lain eneg juga karena melihat kertas ujian mahasiswa yang “hanya memindahkan” isi google.

Ah, saya tak berminat membahasnya lebih panjang. Biarlah yang membosankan itu saya kerjakan hingga usai. Supaya saya bisa mengerjakan hal yang lebih penting dan lebih menantang nantinya.

Pada intinya, pagi ini saya awali dengan kopi pertama di 1 Januari. Secangkir kopi hitam yang setiap hari saya konsumsi, sebelum saya beraktifitas.

baca juga: 1 Januari, Ngobrol Bersama Bapak

Resolusi tahun 2023

Tak seperti tahun lalu yang tidak ada resolusi sama sekali, tahun ini saya membuat beberapa resolusi.

Saya ingin sesuatu yang baru di tahun 2023 menjadi rutinitas saya. Karena rasanya tahun 2022 terlalu membosankan. Tahun yang sekedar saya jalani atas dasar prinsip business as it is. Mungkin itu nggak gue banget.

Di tahun ini, saya memiliki ikhtiar rencana, untuk saya selesaikan satu persatu. Perkara nanti terlaksana atau tidak, biarlah waktu yang menjawab.

baca juga: Dialog bersama mahasiswa tentang respect

Cerita tentang Mouse Logitech

Kebetulan, bertepatan dengan berakhirnya tahun 2022, mouse saya rusak. Sebuah mouse bermerek Logitech yang telah bertugas selama 5 tahun mendampingi saya dalam setiap pekerjaan. Termasuk diantaranya merumuskan beberapa kebijakan strategis negara.

Mouse Logitech
Broken Mouse

Cukup awet ya?

Mouse sebelumnya bahkan bertahan selama hampir 10 tahun. Memang benar kata orang, ada harga, ada rupa. Setidaknya, dengan mouse yang berkualitas, saya tidak kehilangan banyak waktu akibat sering mengganti pernak pernik elektronik.

Namun bukan mouse tokoh utamanya. Saya mau cerita yang lain ke kalian.

Tentang Kejujuran yang saya temukan di 1 Januari

Singkat cerita, karena saya butuh banget mouse baru biar kerja saya lebih cepat, saya pun meluncur ke Bandung Electronic Center. Mumpung cuacanya cerah.

Sesampainya disana, ternyata toko langganan saya tutup. Toko tersebut ada beberapa cabang. Dan semua cabangnya pun tutup. Mungkin karena ini 1 Januari, dan juga hari Minggu. Demikian pikir saya.

Akhirnya saya mencari toko lain yang buka. Banyak sih yang menjual mouse yang saya butuhkan dan inginkan. Namun entah kenapa, kaki saya nggak mau berhenti di depan toko tersebut. Malah terus melangkah. Padahal penjualnya sudah bertanya agresif saya butuh apa, mau cari apa.

Hingga akhirnya, saya berhenti di depan sebuah toko kecil yang dijaga oleh dua orang wanita berjilbab. Jika mata saya tak jeli, mungkin saya akan melewatkan toko ini, saking kecilnya. Berbeda dengan toko lainnya, kedua wanita penjaga itu juga tidak agresif menawarkan barang dagangannya ke saya. Hanya tersenyum ramah.

Dari depan toko, saya melihat kalau toko itu menjual aneka macam mouse, headset, dan beberapa jenis elektronik lainnya. Namun tentu saja jumlah barang yang dijual tak sebanyak dan selengkap di toko langganan saya.

Entah kenapa, saat saya sadar, saya justru sudah berada di dalam tokonya, dan melihat mouse yang saya butuhkan ada didisplay di depan saya.

Melihat saya masuk ke dalam toko, salah seorang penjaga berkerudung coklat muda, menghampiri saya.

“Mau cari apa, teh?” tanyanya ramah.

Saya pun langsung menjawab. “Mouse Logitech, seri XXX.”

Lalu dengan cepat penjaga toko tersebut mengambilkan mouse yang saya mau, dan memberikannya pada saya. Tak hanya sampai disitu, dia juga menerangkan beberapa model, juga warna dari merek mouse yang saya mau.

Setelah saya perhatikan, ternyata dia sedang hamil besar. Tapi semangat kerjanya bagus sekali.

“Diantara 3 ini, bedanya apa teh?” tanya saya padanya.

Karena perbedaan harga mouse tersebut cukup besar antara satu dan lainnya.

Semula saya kira dia akan merekomendasikan mouse yang termahal untuk saya. Namun ternyata tidak.

Teteh penjaga tokonya berkata, “Sama aja Teh, bedanya yang teteh pegang itu nggak ada pilihan warnanya. Cuma warna hitam aja. Ukurannya juga cuma sedikit lebih kecil dari yang ini.” Jelasnya.

Saya pun tersenyum. Dia jujur.

Sebenarnya saya juga sudah cari tahu di internet tentang fitur mouse ini. Hanya yang saya belum mengerti, kenapa harganya bisa berbeda jauh antara yang satu dengan lainnya. Ternyata beda di varian warna.

FYI, mouse yang biasa saya pakai adalah mouse standard. Bukan untuk gaming, atau pemrograman. Jadi ya fiturnya juga terbatas. Buat saya yang penting wireless dan responsif. Itu sudah cukup. Seperti ini bentuknya.

Mouse Logitech Warna Hitam
New Mouse

Tak sampai 5 menit, saya sudah proses pembayaran. Selagi diproses, teteh yang melayani saya menjelaskan garansi toko, garansi pabrik, dan juga penggantian barang jika terjadi kerusakan. Dia juga menjelaskan baterai yang digunakan dan cara mengaktifkan baterai tersebut.

Singkat, padat, jelas, dan efisien.

Sorry, saya memang beneran terkesan dengannya. Dengan kesabarannya melayani, dan juga kejujurannya.

Tentang Kesenangan dan Ketenangan Seorang SPG

Selesai bertransaksi, saya ke supermarket di lantai dasar. Membeli beberapa barang yang memang sangat krusial untuk saya. Disitu saya juga bertemu dengan kasir yang ramah, juga staf yang cekatan dan ramah membereskan keranjang belanja saya.

Bertemu dengan orang-orang baik itu ternyata memberikan vibes positif.

Selesai beli keperluan, saya mampir ke musholla untuk sholat dzuhur. Saat berwudhu, saya bersama dengan seorang wanita muda, mungkin usianya sekitar 19-22 tahunan. Atau mungkin lebih muda dari itu.

Dia mengenakan seragam penjaga toko. Sebuah profesi yang sering ditemui jika kita sholat di musholla ini. Saya tidak sedang menyoroti seragamnya, atau profesinya. Tapi saya trenyuh melihat dia menyempurnakan wudhunya.

Sungguh membuat saya sampai berkaca-kaca. Mungkin saja dia tak berkecukupan, mungkin juga posisinya di pekerjaannya adalah entry level dengan pendapatan yang tak seberapa. Tapi lihatlah, dia begitu ikhlas menyempurnakan wudhunya.

Saya pun shalat di dekat dia.

Dia selesai lebih dulu. Dari sekilas pandangan saya, saya lihat dia syujud syukur setelah mengakhiri shalatnya. Dia terlihat begitu tenang. Begitu damai.

Pun berikutnya, dia merebahkan badannya. Mungkin hendak beristirahat barang sejenak.

Tenang sekali kelihatannya. Tak terlihat beban atau kekhawatiran di wajahnya. Hanya ketenangan yang terlihat dari sikap dan pembawaannya.

Sungguh, ketika Allah memberikan ketenangan kepada HambaNya yang bersyukur, tidak ada yang bisa menghalangi. Si Mbak di sebelah saya hanya melakukan tugasnya, sebagai penjaga toko. Juga kewajibannya sebagai manusia, yaitu menyembah Tuhannya. Sisanya Ia serahkan kepada Sang Maha Kuasa. Itulah sebabnya dia bisa tenang.

Baca juga: Pengalaman Staycation di Mandevilla Dago yang…

Tentang keikhlasan dalam beramal dari seorang pria sederhana

Lalu saya keluar musholla. Di dekat pintu, saya berpapasan dengan seorang laki-laki, yang mohon maaf, dia berpakaian lusuh. Saya perkirakan usianya belum tua, mungkin masih di kisaran awal 30 an.

Tidak ada barang bermerek yang ia kenakan di tubuhnya. Namun gerakannya cepat sekali saat memasukkan uang ke kotak amal yang disediakan musholla.

Disitu saya trenyuh lagi. Dia beramal tanpa keraguan.

Sungguh, tidak perlu harta berlimpah untuk kita beramal. Tidak perlu menunggu nanti jika punya niat baik.  Saya trenyuh melihat itu semua karena sudah terlalu lama, saya tak melihatnya.

Kota besar membuat saya tak bisa sering-sering menyaksikan keikhlasan dan ketulusan, juga kejujuran manusia. Kota besar juga membuat saya selalu melihat orang yang terburu-buru mengejar dunia, dan enggan mengejar akhirat.

Karena yang senang belum tentu tenang. Namun yang tenang insyaAllah senang.

Baca juga: http://Penundaan Keberangkatan ke Sabang dan Janji Allah

Lesson Learned

Perjalanan singkat saya di 1 Januari berkesan banyak. Bahkan hingga bapak ojol yang mengantarkan saya pun ramah dan baik sekali hatinya.

perempuan berkerudung hitam, kemeja biru sedang memegang cangkir di 1 Januari
Ketenangan itu tahan lama

Mungkin ini bagian dari doa saya yang terjawab, bahwasanya saya memohon kepada Allah, untuk senantiasa didekatkan dengan orang-orang yang baik, yang ikhlas, yang jujur dan tulus. Saya juga berdoa, agar Allah menjauhkan saya dari orang-orang fasik dan juga orang jahat yang hendak menyakiti.

Maafkan karena terlalu panjang saya bercerita. Mungkin karena saya mulai menua.

Bandung, 1 Januari 2023.

Arum Silviani

Lecturer, Travel Blogger and Founder of Antasena Projects

Add comment

AdBlocker Message

Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by disabling your ad blocker.

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.