Surga Tersembunyi di Kaki Gunung Tangkuban Perahu

Beberapa waktu lalu, di instagram saya pernah bikin caption pada salah satu foto, when me and the gank in Bandung visiting Ratu Boko Temple.

“It’s not important where are you going to, but with whom you travel with. If your travel companion can makes you happy, wherever you go will always be meaningful for you, and for them.”

Hal yang jadi semboyan geng saya setiap mau jalan-jalan. Kayaknya gara-gara semboyan ini, kami jadi rajin keluyuran. Nggak usahlah ke tempat yang jauh, nggak usah pula ke tempat yang mahal. Yang penting kumpulnya. Yang penting kebersamaannya.

Baca juga: Bermandikan Bunga di Kebun Begonia Maribaya

So, suatu pagi di hari Sabtu, kami berkumpul di kedai bubur ayam Mang Deni, yang terletak di depan Politeknik Manufaktur Bandung. Duh kalau ingat ini saya malu sendiri. Ini pertama kalinya saya makan disitu, dan lupa bayar hufftt…habis gimana ya kalau sudah ketemu sama genggong ceriwis susah konsen. Bawaannya rumpi mulu, lupa ngeluarin dompet dan si mamang pun cuek aja nggak nagih saya ketika saya kelupaan (mungkin dalam benak mamangnya, tampang laper ksian kalo ditagih 🙂 ). Mudah-mudahan Mang Deni nggak ngusir saya kalau saya kesitu lagi hehe…

Baca juga: Asal Usul Jembatan Cinta Situ Cileunca Pangalengan

Tujuan kami hari itu adalah…Lembang. Kemana Lembangnya? Kemana kaki melangkah jawabnya. Kami pergi tanpa iten, tanpa target, tanpa jadwal yang mengikat pula. Pokoknya judulnya ngadem. Dimanapun tempatnya. Tapi saya menyebutnya Surga Tersembunyi di Kaki Gunung Tangkuban Perahu.

Baca juga: Tracking ke Tangkuban Parahu

Kenalin the squad:

Dari Kiri ke kanan Bhekti, Mas Yudi, Kang Lucky, Eja, Nendy, Nur, Teh Iva, Mba Deasy
Dari Kiri ke kanan belakang Bhekti, Mas Yudi, Kang Lucky, Eja, Nendy, Nur, Teh Iva, Mba Deasy, dan Saya.

Hari masih pagi ketika kami memulai pendakian (mendaki pake mobil maksudnya). Melewati Jalan Dago Giri yang asri, dimana di kanan kiri jalan kami bisa melihat hamparan kebun yang berkabut. Sayangnya nggak ada pohon cemara. Kalau ada pasti kami nyanyi:

kiri kanan, kulihat saja, banyak pohon cemara ha..ha..

(sambil dadah-dadah ala Miss Universe tentunya).

Baca juga: Review tempat wisata seputaran Lembang CIC Pasar Buah dan Taman Bunga Begonia

Hanya sekitar 30 menit, kami sudah sampai ke pusat kota Lembang. Beli jajan sebentar di Borma Lembang (Demi teh Iva yang suka galau kalau mau pergi belum mampir ke Borma), lalu kami memulai lagi pendakian ke kaki Gunung Tangkuban Perahu. Kali ini, saya memang berniat ngajak anggota geng ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi. Nggak banyak orang tahu juga kecuali yang berkepentingan 🙂 tempatnya dimana? Biarlah itu menjadi rahasia kami yes. Orang bilang, rahasia biarlah tetap jadi rahasia supaya tetap indah dirasa.

Baca juga: Terbebas dari Labirin di Lembah Dewata

Tempat ini selalu ngasih kejutan tersendiri setiap saya menyambanginya. Contohnya pagi itu, banyak bunga liar bertebaran di tengah hutan. Bunga yang saya sendiri nggak tahu itu jenis apa (mungkin readers ada yang tahu, bisa kasih komen dibawah) yang pasti bunga itu tumbuh demikian indahnya. Aneka warna, ada yang pink, ungu, biru muda, hijau, putih, dan lain sebagainya. Dia mekar dengan sendirinya, bergerombol bak jamur di musim hujan, namun memberikan rona menawan di sekitarnya. Mengukir nuansa magis yang sulit dijelaskan, tapi menenangkan.

Baca juga: Kerena Jogja Selalu Punya Cerita – Ratu Boko Temple

Ditengah hamparan bunga
Ditengah hamparan bunga. Photo by: Mas Yudi Risdianto
Pohon tuh tumbuhnya di hutan, bukan di atas kepala
Pohon tuh tumbuhnya di hutan, bukan di atas kepala xixixi Photo by: Me

Lebih masuk ke dalam hutan, kami pun menemukan tempat memukau lainnya. Langsung deh pada sibuk berpose di tengah hutan pinus yang siang itu memamerkan sisi terbaiknya. Bagaikan masuk ke dalam labirin alami buatan sang maha pencipta.

Persahabatan bagai kepompong ditengah hutan :)
Persahabatan bagai kepompong ditengah hutan 🙂 Photo by: Yudi Risdianto

Tapi tahukah kamu guys, dibalik foto yang indah, ada kawan yang berkorban sampai rela ngesot-ngesot segala. Contohnya ini:

Pengorbanan sang fotografer
Derita sang fotografer Part 1 (Eja dan Kang Lucky)

Dan ini:

Derita sang fotografer part 2
Derita sang fotografer part 2 (Mas Yudi dan Kang Lucky) Photo by: Me

Terus ada pula yang pose dengan gaya andalannya, ngadapang. Siapa lagi kalau bukan mbak Deasy. Gaya kayak gini dulunya dimotori sama saya waktu kami jalan-jalan ke Lombok. Tapi saya melakukannya cuma sekali itu saja karena nggak tahan gatelnya bray…hanya mbak Deasy yang bertahan dengan gaya ini sekalipun habis itu dia bentol-bentol 🙂 btw sorry fotonya bocor, ada Eja dibelakang.

Baca juga: Wisata alam sebelum ngantor, bisa nggak sih?

Trademark "Ngadapang"
Trademark “Ngadapang” Photo by: Me

Kalau ada yang tanya, biaya masuk kesitu berapa?

Jawabnya, nggak ada guys. Nggak bayar. Asal jangan meninggalkan jejak apapun. Jangan ninggalin sampah, jangan melukai pohon dengan mengukir nama kalian, dan juga jangan mengganggu penduduk sekitar jika kebetulan kalian berpapasan. Itu saja.

Baca juga: Belanja Buah dan Sayur Lokal Kualitas Ekspor di Pasar Cermat Lembang

Again, fyi. Our budget is about IDR 100K. Sudah termasuk lunch, biaya parkir, bensin, dan jajan snack. Buat kami, bukan tempatnya yang utama. Tapi kebersamaannya. Nggak perlu ke tempat yang mahal, juga ngehits di instagram. Karena ngehits bisa kami bikin sendiri di hati kami #tsaaah

Kemana lagi setelah ini? Nantikan petualangan kami selanjutnya di postingan berikutnya 🙂

Baca juga: Mengenal Wajah Baru Koperasi Susu Bandung Utara

3 comments

AdBlocker Message

Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by disabling your ad blocker.

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.