6 Perjalanan Tak Terdokumentasikan

6 Perjalanan Tak Terdokumentasikan

Pernah nggak anda berkunjung ke suatu tempat, tapi nggak punya bukti jejaknya? Nggak punya dokumentasinya? Kalau saya…sering! Hehe…Padahal, buat para traveler setiap perjalanan itu wajib didokumentasikan baik dalam bentuk tulisan, foto, maupun catatan perjalanan.

Tapi gimana lagi dong kalau perjalanan yang dilakukan begitu hectic dan berjadwal padat? Inginnya sih membeli cenderamata, atau memotret sudut-sudut terindah dari kota atau tempat yang disambangi. Namun karena keterbatasan waktu, atau manakala baterai kamera dan handphone “menyerah” melayani kita, ketika sinyal nggak mumpuni buat sekedar aplod “check-in” di maps, akhirnya perjalanan itu tak terdokumentasikan. Tak berjejak sehingga tak bisa kita lihat kembali bersama teman maupun keluarga.

Baca juga: Apa saja sih yang harus disiapkan sebelum jalan-jalan?

Tapi karena Tuhan Maha baik dan Maha Sempurna, ketika peralatan buatan manusia tak lagi berfungsi, kita dibekali panca indera yang siap merekam semuanya. Jelas sekali. Bahkan kalau saya, setiap tempat yang saya singgahi saya simpan baik-baik dalam memori yang disediakan  Tuhan. Meskipun saya nggak bisa kasih bukti berupa benda maupun cenderamata jikalau ada orang yang bertanya ke saya. Segumpal kenangan itu hanya bisa saya ceritakan kepada mereka #tsaaah *kibas-kibas kerudung.

Well…beberapa tempat yang belum terdeskripsikan dengan jelas melalui jepretan gambar atau cerita di blog ini, dimana saya benar-benar menyambanginya namun tak sempat untuk sekedar mengabadikannya dalam sebuah gambar dengan maksimal yaitu:

1. Ambon

Empat kali menyambangi Kota ini, namun saya tak pernah benar-benar memiliki dokumentasi yang baik, yang bisa menggambarkan Ambon secara singkat sekalipun. Alamnya yang cantik, air lautnya yang biru tua, pantainya yang memesona, ikan dan hidangan lautnya yang luar biasa nikmat, sambalnya yang khas, masyarakatnya yang ramah juga manisnya senyum mereka, nyaris tak pernah saya abadikan. Namun dalam memori saya, semua masih terekam jelas. Sejelas jika saya melihatnya dalam pantulan infokus ke dinding putih.

Baca juga: 8 Tips for Simple Packing

2. Palu

Kota yang terkenal dengan oleh-oleh bawang Gorengnya ini sempat saya singgahi selama 2 hari 1 malam. Lagi-lagi, karena agendanya padat, saya hanya bisa merekam keindahan Kota Palu dalam memori saya. Jembatan Ponulele yang membelah kota Palu pun tak sempat terabadikan dalam jepretan kamera. Saya hanya sibuk merekamnya dengan mata saya.

3. Kendari

Saya pernah kemari untuk memberikan pelatihan bagi Perguruan Tinggi di Kendari dan sekitarnya. Saat itu saya menginap di hotel Horison. Karena agendanya super padat, ditambah saya harus mengajar dan melayani konsultasi dari para peserta, walhasil saya hanya nongkrong di hotel, tanpa sempat melihat sekeliling kota Kendari.

Dari yang sekilas itu, saya sempat mencicipi makanan khas Kendari, Ikan Kakap Merah Bakar yang sangat fresh. Manis rasanya meskipun dibakar tanpa dibumbui. Bakar polos, istilahnya. Saya lihat kota Kendari masih sepi, tak sepopuler Makassar atau Manado. Lengangnya kota Kendari hampir sama dengan Kota Palu.

4. Berastagi

Ini salah satu kota yang menjadi destinasi favorit saya. Berastagi beriklim sejuk, dingin malah. Suhu berkisar antara 7-11 derajat celcius. Kontur tanahnya berundak, dengan landscape Gunung Sinabung yang memesona. Meskipun gunung ini mengalami erupsi selama 5 tahun belakangan, tapi tak sedikitpun mengurangi keindahan kota Berastagi yang masih sangat alami dan memiliki udara bersih. Tak heran jika dulu Berastagi menjadi favorit orang Belanda saat mereka menjajah kita dulu. Hal ini terlihat dari beberapa rumah, hotel, dan villa bergaya eropa, peninggalan jaman Belanda.

Selain memiliki iklim yang sejuk, Berastagi merupakan penghasil buah dan sayur berkualitas. Tak kalah dengan buah dan sayur impor. Bahkan banyak diantaranya yang memiliki kualitas lebih baik dari buah-buahan dan sayur impor.

Baca juga: Hijabers kok traveling?

5. Samarinda

Berapa kali ya saya kesini? Tapi selalu sampai malam hari, dan kembali ke Balikpapan esok harinya. Kota Samarinda sendiri sudah sangat maju. Bisa dikatakan kota metropolitan karena merupakan sentral dari berbagai perusahaan tambang. Baik minyak, batubara, maupun mineral lainnya.

Satu pemandangan khas yang indah di kota ini adalah ketika malam tiba, lampu-lampu berkelap-kelip mengelilingi sungai Mahakam. Kawasan Islamic Centre yang megah juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para traveler atau orang yang sekedar singgah di Samarinda. Hanya satu rasanya yang terekam dalam jepretan kamera saya. Saat saya singgah di Masjid Ceng Ho. Sebuah masjid berornamen Tiong Hoa yang terletak antara Bukit Soeharto dengan Kota Samarinda.

*Update: Sekarang saya punya foto Islamic Centre Samarinda.

6. Lhokseumawe

Kota di Ujung Banda ini pernah saya singgahi beberapa tahun lalu. Kota yang saya tempuh dengan perjalanan darat selama kurang lebih 7 jam dari Kota Banda Aceh. Sepanjang perjalanan itu saya menyaksikan sendiri tanah Aceh yang subur, dengan sawah yang hijau membentang di kanan dan kiri jalan. Sementara itu, Bukit Barisan terlihat menawan di sepanjang perjalanan. Membuktikan bahwa kata-kata orang memang benar. Bahwa perbukitan ini berdiri di sepanjang Pulau Sumatera.

Sebenarnya masih banyak tempat yang tak terdokumentasikan oleh saya. Semuanya punya ciri khas masing-masing. Semuanya indah dan memesona. Khas bumi Indonesia yang menawan tiada dua. Kalau sudah demikian, biasanya rasa cinta saya terhadap negeri ini makin besar dan semakin besar. Karena saya sadar tak ada yang tak bisa kita dapatkan jika kita berada di Indonesia. Negeri yang dilimpahi anugerah tiada tara oleh Sang Maha Pencipta.

Baca juga: Nyasar saat traveling di Indonesia?

Add comment

AdBlocker Message

Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by disabling your ad blocker.

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.