Cerita tentang Covid-19

Sebuah Cerita tentang Perang yang Tak Kunjung Usai

Cerita tentang Covid-19

2 Maret 2020, sekitar pukul 13.00. Saat saya sedang duduk di kelas sambil memeriksa projectnya mahasiswa, salah satu dari mereka bilang,

“Miss, the first and second case of Covid-19 found in Depok.”

Waktu itu saya hanya menanggapi sambil bertanya, “Are you sure?”

Mahasiswa tersebut menjawab, “Mr. President still on press conference now.”

Lalu akhirnya, kami menonton pidato Pak Jokowi bersama-sama, saat live di youtube. Agak ngeri juga, tapi sungguh belum terbayang bahaya apa yang akan mengancam negeri ini.

Baca juga: Sebuah makna dari Coronavirus-19

Apakah ini firasat, atau Self Defense Mechanism?

Entah kenapa, apakah ini sebuah firasat, atau memang self defense mechanism saya berjalan refleks, selesai mengajar saya langsung memotret meja, kursi dll. Pikir saya, saya tidak mau ada barang yang tertinggal. Karena selama mengajar di kampus ini, saya sering banget kehilangan flashdisk. Biasanya sih karena terlupa masih menancap di PC kelas.

Cerita tentang pandemi Covid-19
Ruang Kelas

Setelah memastikan semuanya aman, saya ke ruangan dosen di gedung Media Tower. Saya buka loker tempat saya biasa meletakkan dokumen. Isinya ada makalah, tugas-tugas, atau esainya mahasiswa yang harus saya nilai. Lalu saya bawa juga seluruh dokumen penting. Tak ada yang saya sisakan.

Cerita Tentang Covid-19
Ruang dosen yang dirindu

Bahkan berkas-berkas penting seperti surat tugas, SK mengajar, dll yang biasanya saya titip di ruang administrasi, hari itu saya ambil semuanya.

Tampilan saya hari itu sudah seperti upik abu deh 🤣. Cupu banget karena bawa dokumen banyak.

Sore yang indah di Gading Serpong

Jam 15.00 WIB, saya masih santai naik Bus Premium rute Gading Serpong-MRT Lebak Bulus, tanpa pakai masker. Bebas lepas seperti hari-hari sebelumnya. Saya menikmati pemandangan sambil leyeh-leyeh dalam bus yang kosong. Penumpangnya hanya saya, satu orang dosen senior, dan satu mahasiswa.

Saya turun di halte yang biasanya. Lalu karena hari masih siang, saya nongkrong dulu di cafe sebentar. Sambil minum es kopi, sambil membaca tugas-tugas mahasiswa, juga membalas WA terkait pekerjaan saya di luar kampus.

Ya, kesibukan saya saat itu masih full offline. Sehingga aneka dokumen harus saya selesaikan, saya rekap, dan saya setorkan ke kantor. Setelahnya, saya juga harus meeting secara offline di sebuah hotel bintang 5 di Bandung, Bogor, Depok, atau Jakarta.

Jadwal saya masih sama. Senin-Selasa mengajar. Rabu-Minggu tugas di Kemenristekdikti (Sekarang Kemendikbud). Rutinitas yang barangkali sudah saya jalani bertahun-tahun belakangan.

Sabtu-Minggu bersamamu sudah lewat, diganti malam Jumat #apasih…

Baca juga: Suka duka jadi Staf Ahli di Kemenristekdikti

Awal Mula Cerita Tentang Covid-19, Ketika Protokol Kesehatan Mulai diterapkan di Kampus

9 Maret 2020, begitu turun dari mobil, saya lihat di pintu masuk kampus sudah ada thermometer otomatis. Lalu hand sanitizer ada dimana-mana, bahkan mau naik lift pun diabsen oleh pak satpam. Akhirnya karena saya hampir terlambat, saya memilih naik tangga ke Lantai 8. FYI, saat itu saya pakai heels 5 senti kakaaa….

Saat saya baru saja duduk di kelas, saya dapat email dari kampus yang isinya, larangan pergi ke luar negeri. Jika saya tetap keluar negeri, maka saya tidak diperbolehkan mengajar selama 14 hari. Harus karantina dulu. Syalalala…saya sudah mau ke Singapura padahal dalam waktu dekat.

Paspor siap.

Tiket siap.

Ke Bandung, Kota yang terindah

12 Maret 2020, saya ke Bandung sambil ngecek Marni Notonegoro Hadiningrat’s Farm. Nah, pas lagi keliling ala juragan desa, tiba-tiba handphone saya ramai notifikasi (tumben saya dapet sinyal). Ada beberapa grup yang belakangnya namanya sama. Mitigasi Covid-19.

Oleh atasan saya, saya ditanya sedang berada dimana. Saat saya bilang saya di Bandung, atasan saya berkata, “kamu diam-diam saja disitu. Jangan kebanyakan gerak. Stay at home, and work from home.”

Per 12 Maret 2020, kampus lockdown

Lalu beberapa hari kemudian, Semua kantor dan tempat saya kerja, lockdown. All agenda got canceled. Jadwal ngamen, manggung, mengalami penyesuaian sedemikian rupa. Seluruh project dan jadwal terbang saya yang sudah disusun sampai akhir tahun, On Hold.

Di luar itu, saya harus robek tiket berkali-kali karena jadwal traveling sudah saya susun, tapi maskapai membatalkan penerbangannya. Dan semuanya nggak ada yang balik uangnya 😂. Traveloka gitu loh, ngga jelas. Biarin lah ya saya sebut merek. Toh diantara kalian mungkin ada juga yang uangnya nggak dibalikin sama Traveloka.

Untuk Pertama Kalinya, LDR sama Mahasiswa

Saat itu saya berpikir, kalau pekerjaan mengelola sistem dan Big data sih sudah biasa LDR sejak dulu. Jadi saya tidak ada masalah sama sekali. Tapi kalau jauh dari mahasiswa, bagaimana? Lha wong kuliah tatap muka saja, mereka selalu gangguin saya. Dikit-dikit, “Miss tolong…” “Ibu ini bagaimana…” “Ibu ada yang error…” dan lain sebagainya.

Akhirnya…hari demi hari kemudian, kehidupan saya diisi dengan aneka training. How to teach online, How to Work Online. Keadaan berubah jadi Emergency Shifting, lalu Megashifting. Saya yang tidak biasa bicara di kamera, dipaksa untuk video call dan zoom meeting setiap hari. Bahkan saya harus merekam omongan sendiri saat manggung huhuu…

Saya baru merasa, untuk menciptakan konten 7 menit, persiapannya berjam-jam. Dibawah ini adalah contoh ketika seorang dosen disuruh merangkap jadi content creator. Lumayan ya?

Saat pertama kali Work From Home, Teaching From Home

Awal-awal, Migrain!!!

Lampu kamera yang menyala di laptop, sinar handphone, dan lampu sorot buat manggung (baca: Ring light) biar muka halus tuh merusak mood banget. Belum lagi mahasiswa yang terpaksa harus mendengarkan saya jarak jauh. Padahal yang saya ajarkan bukanlah hal yang familiar buat mereka. Kebayang nggak, ricuhnya seperti apa? Kamar saya sudah seperti pasar malam setiap saya mengajar. Mahasiswa rebutan bertanya. Dan banyak yang tidak kebagian giliran lalu protes 😆😆😆

Sehingga berujung saya tetap ON di WA dan Line, untuk menjawab pertanyaan mereka. Sudah seperti kelas privat ruang guru atau zenius saja.

Selain masalah keterbatasan waktu, saya juga kesulitan untuk mentransfer energi ke Mahasiswa. Kalau kuliah tatap muka, biasanya saya selalu selipkan motivasi, cerita, atau hal-hal yang membangun mood mereka biar semangat belajar. Mereka bisa lihat dari gestur, tatapan mata,  humor, juga kalimat empati dari saya secara live. Langsung.

Saat online, semua itu tidak bisa dirasakan.

Baca juga: Aplikasi meeting online penunjang WFH, apa saja sih?

Tapi lama-kelamaan, berbagai cara ditempuh supaya naikin mood dengan kerja dari rumah. Salah satunya dengan tetap berpenampilan rapi, selayaknya kita kerja offline.

Sempat loh, saya diolok-olok oleh tetangga. “Nggak kemana-mana kok dandan terus. Nggak usah lebay deh, WFH nggak gitu juga kali.”

Well, FYI, WFH tak lantas menjadikanku menjadi burique. Buat saya, itu adalah semangat. Buat mahasiswa juga klien saya, itu berarti profesionalitas. Sebuah bagian dari service excellence. Lagipula, tempat orang bekerja itu beda-beda. Ada yang hanya mengenakan daster dan berpenampilan burik di zoom nggak masalah.

Tapi saya nggak bisa gitu. Nggak boleh gitu sama kantor, dan saya nggak mau gitu juga. Keren is my pride!

Di masa-masa awal WFH, saya yang biasa pergi kemana-mana, mobilitas sangat tinggi, sungguh serasa dipenjara. Terlebih, kita diharuskan #dirumahaja selama sekitar 4 bulan. Bahkan karena larangan keluar kota dan PSBB, hari raya Idul Fitri 2020 pun saya tidak bisa pulang ke rumah orang tua di Jakarta. Karena saya terjebak di Bandung.

2 tahun kemudian…

Kayak judul film ya?

Dua tahun berlalu,

kita masih online, ya?

Kerja online, kuliah online, belanja online 🤗

Karena kemampuan adaptasi manusia itu luar biasa, akhirnya kita semua bisa melewati ini sama-sama. Hebat loh kita.

Baca juga: Sebesar itukah memory kita?

Lesson Learned because of Pandemic

Kita belum pernah mengalami pandemi. Manusia di bumi yang masih hidup belum pernah ada yang mengalami pandemi. Referensi kita tentang wabah hanyalah Flu Burung, Sars, Mers, Diare, Demam berdarah, Ebola, dan semua virus yang sifatnya epidemi.

Di masa awal, karena kita masih berpikir bahwa pandemi ini tidak panjang, maka seringkali kita berencana.

jika pandemi selesai maka…atau kalau covid sudah pergi, nanti kita…

Sekarang, pikirannya berubah. Kita lakukan apa yang bisa kita lakukan. Kita kerjakan, apa yang bisa kita kerjakan.

Dari pandemi juga, kita belajar not to impress other people. Hidup apa adanya, back to basic needs. Karena ternyata, pakai baju yang sudah ada, pakai sepatu lama, pakai make-up yang ada di meja tuh tidak apa-apa, ya? Tidak harus selalu setiap saat beli yang baru.

Dari pandemi kita juga belajar, untuk lebih menghargai indahnya pertemuan. Lebih menyayangi orang-orang terdekat kita. Karena kita melihat bahwasanya kehidupan dan kematian sungguh sangat tipis bedanya.

Cuma yang susah adalah, nggak piknik itu bikin apa-apa 😅. Karena manusia butuh berada di lingkungan yang berbeda, keluar dari rutinitasnya sehari-hari. Supaya pas balik ke rutinitas, sudah segar dan kreatif. Jadi tambah semangat kerja.

Sehingga akhirnya, setelah satu tahun enam bulan saya tak terbang, saya harus terbang.

Bukan untuknya, bukan untuk siapa, tapi untuk saya 😁

Post Terkait:

Arum Silviani

Lecturer, Travel Blogger and Founder of Antasena Projects

Add comment

AdBlocker Message

Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by disabling your ad blocker.

AdBlocker Message

Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by disabling your ad blocker.

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.