Sabtu Bercerita

Sabtu Bercerita: Jadi Dosen, Pilihan atau Panggilan Hati?

Sabtu Bercerita

“Nis, kita tuh ngapain ya jadi dosen?”

“Kenapa sih kita memilih profesi ini?”

Nissa tertawa terbahak. Dari raut wajahnya, kurasa dia tertawa sekaligus miris, kenapa kami musti mencintai hal yang rumit, yaitu jadi dosen di sebuah Perguruan tinggi. Kami menertawakan nasib kami, yang kami pilih sendiri.

Dalam rangkaian Sabtu Bercerita, tentang profesi, juga sebuah konsekuensi.

Sabtu Bercerita dan Berkisah di Alissha Cafe

Sabtu sore, di sebuah cafe kecil nan asri di Bandung, kami berdua bertemu. Tentu saja, sebagai orang yang berprofesi sebagai dosen, kalau ke cafe hanya untuk ngobrol rasanya tak mungkin. Meskipun ini adalah hari libur. Kami berdua selalu berpikir, harus ada yang dihasilkan dari setiap tongkrongan. Semua obrolan harus menghasilkan.

Rumit, ya?

Nah itu juga. Kami berdua pun sebal kalau memikirkannya. Tapi anehnya, kami melakukannya secara otomatis sejak dulu, sekarang, dan mungkin juga di masa yang akan datang. Kami terikat dengan perjanjian hati, untuk mencerdaskan anak bangsa di bumi pertiwi.

Sebuah cita-cita luhur yang kami benci, sekaligus kami cintai.

Benci karena, kenapa musti profesi ini? Yang indah dipandang orang, tapi berat sekali untuk dijalani.

Cinta karena kami merasa, setiap yang kami lakukan bisa berdampak banyak untuk masa depan di dunia, maupun di akhirat nanti (ngarep mode on).

Baca juga: Satu Januari, Ngobrol Bersama Bapak

Suasana di Alissha Cafe Bandung

Kembali lagi ke suasana di Alissha Cafe. Lokasinya di Turangga, Bandung. Sepelemparan batu dari kantor PLN Karawitan Bandung. Letaknya agak masuk ke perumahan warga. Oleh karenanya, cafe ini cukup nyaman buat kami yang suka ketenangan.

Cafenya tidak besar. Hanya ada 5 meja indoor, 3 meja outdoor, dan dua meja panjang dari batu. Cukup nyaman karena udara Bandung tak terlalu terik. Masih ada angin yang berhembus ringan dan pepohonan yang membuat sejuk suasana.

Sabtu Bercerita
interior alissha cafe bandung

Di area indoor cafe ini juga tersedia jajaran buku yang cukup menarik untuk dibaca. Mulai dari pengetahuan tentang kopi, desain interior, dan juga novel-novel best seller.

Baca juga: Loe Mien Toe Cafe, Tempat menyepi di tepi Sungai Brantas Malang

Sabtu Bercerita
Buku tentang Kopi

Kenapa saya tahu buku-buku tersebut isinya apa saja?

Karena berbeda dengan pengunjung cafe yang langsung memesan dan menikmati hidangan yang dipesannya, saya dan Nissa adalah kategori yang mengambil buku terlebih dulu, sebelum membuka buku menu.

Memusingkan ya, buat kalian? Kami pun pusing dengan sikap kami.

Baca juga: Sebesar itukah memory kita?

Dosen, Selalu dipandang sebagai profesi yang bergengsi dan banyak liburnya

Jadi dosen kan enak, kalau mahasiswa libur, kalian ikut libur.

Atau…

Dosen adalah profesi paling asik. Ngga punya boss, bisa kerja semaunya, bisa nyuruh-nyuruh mahasiswa semaunya.

Kenyataannya, sungguh sangat jauh berbeda dengan apa yang dikatakan orang.

Saat mahasiswa libur, dosen sama sekali tidak ada libur! Kami sibuk menguji mahasiswa yang sidang magang, sidang skripsi, mengoreksi ujian, dan input nilai. Belum lagi kami harus memasukkan hasil evaluasi per semester, untuk bahan perbaikan di semester yang akan datang.

Pada saat mahasiswa liburan, dosen sudah mulai mempersiapkan semester baru. Beruntung jika mata kuliah yang diampu sama dengan semester lalu. Dosen dapat memperkaya di case dan teori yang tidak seberapa. Namun, kenyataan tidak demikian. Biasanya dosen “diwajibkan” multitasking dalam suatu kelompok bidang keahlian. Semester ini mengajar mata kuliah A, B, C. Semester depan D, E, F. Berbeda-beda tapi tetap sama jua, sulitnya.

Baca juga: Het Snoephuis, Untuk kamu yang masih duduk setia

Ketika mata kuliah yang diampu berbeda, itu berarti kami harus merencanakan perkuliahan dari awal. Belajar lagi, update ilmu lagi. Cari case lagi. Nah kebetulan karena bidang yang saya pilih adalah Digital marketing, Digital Retail, Digital MICE, dan aneka Digital Business lainnya yang selalu bergerak, walhasil saya harus selalu membuat sesuatu yang baru.

Rencana Perkuliahan Per Semester, Stress Pertama

RPKPS. Sebuah Rencana perkuliahan per semester. Isinya adalah detail dari silabus, capaian pembelajaran, isi dari perkuliahan, rencana tugas harian, mingguan, project semesteran, rencana pembelajaran, sampai dengan rencana, kalau mahasiswa lulus mata kuliah ini, bakalan jadi apa di industri nanti. Satu RPKPS mata kuliah berkisar antara 50-60 halaman. Biasanya, satu semester kurang lebih 14-16 kali pertemuan.

Kebayang nggak, biasanya satu semester saya akan pegang 3 mata kuliah. Itu berarti, sebelum kuliah berlangsung, RPKPS sebagai kontrak pembelajaran ini harus sudah siap. Jumlahnya sekitar 150 an halaman. Asli. ngetik sendiri. Pakai mikir, waktu, tenaga, dan kuota. Termasuk di dalamnya adalah rasa jenuh dan lelah.

Effort = 1000% lebih besar daripada kerja di industri. Sementara itu, salary berbanding terbalik.

Membuat Materi dan Diktat Perkuliahan

Kontrak perkuliahan tadi belum termasuk materi. Biasanya saya membuat materi, paling tidak bersumber dari 2 buku utama, 3 buku pendukung, dan ratusan referensi lainnya yang berasal dari jurnal ilmiah, artikel berita, atau kasus bisnis terkini yang sedang terjadi di lapangan.

Bisa nggak, kalau referensinya sedikit saja?

Bisa sih, tapi itu bukan saya.

Iya, saya susah dibikin sendiri kan?

Saya hanya berharap, mahasiswa bisa lebih kaya pengetahuannya, setiap mereka keluar dari kelas saya. Karena saya juga praktisi, maka saya selalu menginginkan mahasiswa dapat informasi terkini. Sesuai dengan kondisi di industri dan juga pasar hari ini.

Nah, kisaran materi yang saya buat ini tergantung jenis mata kuliahnya. Biasanya saya menggunakan power point sebagai Diktat Mata Kuliah. Sebagai gambaran, untuk mata kuliah Digital Marketing, satu pertemuan kurang lebih ada 70an slide. Bahkan bisa lebih.

Isinya apa? Ada materi, case, tugas, modul, referensi, dan peta di lapangan.

Membuat Soal Ujian? Ya kami diuji dulu

Salah satu hal yang juga cukup sulit adalah membuat soal ujian. Sementara ini, yang saya lihat di media sosial adalah keluhan mahasiswa ketika mengerjakan soal ujian. Pada kenyataannya, percayalah. Mengerjakan soal jauh lebih mudah daripada membuatnya.

Baca juga: Cara berpikir perempuan, logika atau perasaan yang duluan?

Sebagai gambaran, Ketika membuat soal, kita harus mengerti betul tingkat kesulitannya berapa persen. Kita juga harus bisa memperkirakan, berapa lama soal tersebut mampu dikerjakan oleh mahasiswa? Supaya kita bisa menentukan durasi pengerjaannya.

Selanjutnya, soal tersebut dikaitkan dengan kompetensi dalam taksonomi bloom. Atau bahasa sederhananya, ketika mengerjakan soal ini, nanti mahasiswa jadi bisa punya keterampilan apa di industri?

Untuk membuat soal ujian, biasanya saya memerlukan waktu 3-4 jam. Tergantung jenis mata kuliah dan berapa banyak soal yang dibuat.

Selain soal ujian, masih ada soal quiz, diskusi kelas, dan lain sebagainya. Lalu, jadi dosen masih gampang?

Baca juga: Ketika Upik Abu Melenggang

Mengoreksi Ujian, yang jadi ujian terberat dosen

Dari sekian banyak tugas dosen, inilah yang paling berat dan paling melelahkan. Membosankan juga. Waktu yang dibutuhkan untuk mengoreksi hasil ujian satu kelas sekitar 3-5 jam. Bahkan, untuk soal yang bentuknya take home seperti (proposal, hasil karya, event planning, marketing plan, business plan) seorang dosen bisa menghabiskan waktu berhari-hari, hanya untuk membaca dan mengevaluasi satu persatu hasil kerja mahasiswa.

Sabtu Bercerita
Nissa, bukan Alissha

“Iya, jadi dosen itu berat.” Kata Nissa.

Kendati pun begitu, buktinya, kami masih menjalaninya.

Alissha Cafe Bandung
Aglio Olio Pasta, Alissha Cafe Bandung
Alissha Cafe Bandung
Kopi Susu Alissha

Anyway, sore itu Nissa memesan spaghetti carbonara dan kopi. Sedangkan saya memesan es coklat. Rasanya enak. Hanya saja, saya tidak memesan makanan, karena masih kenyang. Sebelumnya, di café ini saya pernah memesan spaghetti carbonara juga. Enak rasanya, tapi porsinya terlalu banyak buat saya. Sehingga saya tidak sanggup menghabiskan isinya.

Alissha Cafe Bandung
Carbonara Pasta, Alissha Cafe Bandung

Baca juga: Mengenal Maison Bogerijen, Resto Mewah dari Jaman Belanda

Lesson Learned

Buat saya dan Nissa, batapapun juga beratnya profesi dosen ya kami nikmati saja. Disini kami bukan ingin mengeluh. Hanya saja, kami ingin bercerita tentang apa yang sudah kami alami saat kami memutuskan jadi dosen.

Pada kesempatan ini, kami belum sepenuhnya “membocorkan” pekerjaan dosen lainnya. Karena sungguh tak cukup dideskripsikan hanya melalui sebuah artikel saja.

Baca juga: Berkisah di Puncak Gunung Galunggung

Lalu, apakah saya akan jadi dosen selamanya?

Saya nggak tahu. Untuk saat ini, saya masih suka jadi dosen. Tak tahu nanti nasib akan membawa saya kemana. Mungkin kalau saya bosan, saya akan lebih fokus ke start-up yang saya bangun bersama tim saya (nanti ya, saya ceritakan di lembaran berikutnya). Atau mungkin juga saya Kembali ke dunia praktisi 100% lagi seperti dulu.

Who knows?

Post Terkait:

Arum Silviani

Lecturer, Travel Blogger and Founder of Antasena Projects

Add comment

AdBlocker Message

Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by disabling your ad blocker.

Follow us

Don't be shy, get in touch. We love meeting interesting people and making new friends.